26 Desember 2004 – 26 Desember 2019, 15 Tahun Silam Mengenang Gempa dan Tsunami Aceh, Bencana Terparah yang Menewaskan Ratusan Ribu Jiwa

admin

“Bahwa Tsunami Aceh telah menggugah nurani dunia, berbagai negara dan NGO datang bersolidaritas. Kita pun sebagai anak bangsa ikut peduli, bersama sama tanpa memandang suku, ras, agama, ikut andil. Momen ini penting sekali dan modal menjadi bangsa kuat, “

ACEH – CNN

Minggu, 26 Desember 2004, tepatnya pukul 08.58 WIB, gempa berkekuatan magnitudo 9,1 mengguncang laut Samudra Hindia. Pusatnya berada di 160 kilometer arah barat, Lhoknga, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh. Gelombang tsunami yang dahsyat menghantam Aceh dan beberapa wilayah di Samudra Hindia. Lima belas tahun berlalu, bencana alam yang amat mematikan ini, masih memberikan luka tersendiri bagi para korban.

Dilansir melalui situs resmi Kompas.com, tsunami aceh terjadi karena adanya interaksi antara lempeng Indo-Australia dan Eurasia. Sebelumnya, gempa besar dengan magnitudo 9,0 terjadi berpusat di dasar laut pada kedalaman 10 kilometer. Gempa terjadi sekitar 8-10 menit.

Setelah gempa yang panjang dan memiliki magnitudo besar, gelombang pasang menyerbu pantai didahului surutnya air laut. Kemudian, diikuti oleh gelombang yang sangat besar.

Gelombang tsunami menerjang daratan dan masuk ke dalam kota. Diperkirakan gelombang tsunami yang menghantam pesisir Aceh setinggi 30 meter. Kecepatannya mencapai 100 meter per detik atau 360 kilometer per jam.

Bentuk geologi pantai di Aceh tergolong rumit. Di daerah itu teluk yang berasosiasi dengan tanjung telah menyebabkan konsentrasi energi gelombang di sekitar tanjung.

Tsunami yang tergolong jenis far field ini memiliki perambatan hingga 1.000 km lebih. Tsunami yang muncul akibat gempa pertama di Aceh penjalarannya ke utara dan barat laut hingga ke Sri Lanka dan Maladewa, masing-masing sekitar dua dan tiga jam setelah gempa Aceh.

Sementara ke arah selatan, tsunami menerjang Pulau Simeulue, setengah jam kemudian. Adapun gelombang pasang sampai ke Pulau Nias satu jam, lalu ke Kepulauan Mentawai satu setengah jam sesudah gempa.

Diperkirakan, sebanyak 230 ribu orang yang tewas dari 14 negara, termasuk Thailand, India Selatan, Sri Lanka, dan sebagian Afrika. Aceh sendiri menjadi yang terparah, dengan jumlah korban mencapai 170 ribu.

Tak hanya itu, jutaan rumah hancur akibat gempa dan tsunami Aceh. Listrik seketika padam karena dampak yang ditimbulkan. Ratusan penduduk pun harus kehilangan tempat tinggalnya.

Dilansir di situs BBC News, selain penduduk setempat, 9.000 turis asing (kebanyakan orang Eropa) yang sedang menikmati musim liburan puncak termasuk di antara korban tewas atau hilang. Negara Eropa yang memiliki paling banyak korban tewas adalah Swedia, dengan jumlah 543 orang.

Beberapa lembaga dunia pun berbeda pendapat soal kekuatan gempa mulai dari 9,1 hingga 9,3. Namun, sejumlah lembaga internasional sepakat menggunakan angka 9,1—9,2 untuk mengukur kekuatan guncangan itu.

Lindu ikut dirasakan sejumlah negara lain, di antaranya Malaysia, Thailand, Singapura, India, Sri Lanka hingga Burma. Gempa ini, menurut sejumlah studi, berlangsung beberapa kali selama 10 menit.

Berdasarkan Studi United State Geological Survey (USGS) melalui sejumlah dimulasi animasi menyebutkan bahwa gelombang besar tersebut juga menghantam daratan Sri Lanka dan India. Dampak lainnya juga dialami Burma dan sebagian negara di timur Afrika.

Dari 14 negara terdampak, korban jiwa akibat bencana itu diperkirakan 230.000—280.000 jiwa. Dari total tersebut, sekitar 170.000 korban berasal dari Provinsi Aceh.

Sementara itu, Riset The Incorporated Research Institutions for Seismology (IRIS) hanya menyebut “hampir 300.000 jiwa” meninggal dunia, sedangkan American Association for the Advancement of Science (AAAS) mencatat setidaknya 283.000 orang kehilangan nyawa.

Data yang dihimpun masing-masing berbeda. Namun, para ilmuan menyepakati gempa tersebut merupakan yang terbesar dalam 40 tahun terakhir (pada saat 2004) atau 55 tahun hingga 2019. Gempa terbesar sebelumnya terjadi di Alaska pada 1964 dengan magnitudo 9,2.

Gempa besar di Sumatra – Andaman pada 2004 ini juga bukan gempa pertama. Studi IRIS menyebutkan bahwa gempa terakhir yang terjadi di lautan itu berlangsung pada 1833. Namun, tak dijabarkan dampak dari bencana tersebut.

Bencana alam terbesar ini pada akhirnya menyimpan duka dan luka khususnya bagi sebagian besar masyarakat Aceh. Ratusan ribu korban terdampak kehilangan harta, benda, dan sanak saudara.

Berdasarkan himpunan dari Monumen Thanks To The World di Banda Aceh merekam, sedikitnya 167.000 orang meninggal atau hilang saat bencana itu, 3.000 kilometer jalan hancur, 120 jembatan rusak dan 500.000 orang memilih pindah dari Aceh.

Selang beberapa hari pascabencana, bantuan dari negara asing masuk ke Indonesia. Puluhan negara menyumbangkan bantuan kemanusiaan untuk daerah itu. Selain uang, negara donor turut menerjunkan para relawan hingga personel militer untuk merekonstruksi wilayah itu.

Usai bencana, Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh dan Nias mengelola setidaknya US$1,20 miliar. Dengan kurs Rp9.400 per dolar AS saat itu, badan tersebut mengelola keuangan mencapai Rp 11,20 triliun.

Dana ini berasal dari sejumlah pihak. Perinciannya berdasarkan data Bappenas, US$ 600 juta dari Palang Merah Internasional dan Bulan Sabit Internasional, US$ 250 juta dari Pemerintah Amerika Serikat, dan US$ 245 juta dari multidonor trust fund (MDTF).

Bantuan itu digunakan untuk beberapa sektor seperti pembangunan rumah, jalan, rumah sakit, dan penanaman pohon bakau di pesisir. Ada pula bantuan juga diberikan untuk rehabilitasi Aceh pascabencana. Termasuk pula membangun escape building atau bangunan penyelamatan dari tsunami yang dibangun Jepang.

Selain itu, bantuan berasal dari perusahaan internasional di Tanah Air seperti Intel, Microsoft, British Airways, dan Cisco. Dana ini mencapai US$ 30 juta.

Di sisi lain, pemerintah pusat dan DPR sepakat memberikan bantuan dana rekonstruksi Aceh senilai Rp 8,20 triliun. Dana tersebut disepakati pada tahun anggaran 2005. Dana tersebut berasal dari hibah, pinjaman bilateral, dan moratorium utang.

Tugu ‘Thanks To The World’
Tugu ‘Thanks To The World’.

Secara keseluruhan setidaknya 53 negara ikut memberikan bantuan kepada Aceh. Bukti ini dapat dilihat dari tugu ‘Thanks To The World’ yang terlihat di Lapangan Blang Padang, Banda Aceh hingga saat ini. Tugu tersebut dibangun sebagai bentuk ucapan terima kasih masyarakat Aceh atas dukungan tersebut.

Kalimat “Terima kasih dan Damai” disampaikan dalam prasasti berbentuk lambung depan kapal. Ucapan itu disesuaikan dengan bahasa tiap-tiap negara donor. Musibah itu menjadi pemantik kesadaran tanggap bencana bagi masyarakat Aceh. Setiap tahun, sebagian warga melakukan simulasi mitigasi bencana khususnya di wilayah pesisir.

Badan Penanggulangan Bencana Aceh juga telah membangun setidaknya 268 rambu evakuasi pada 2014 lalu dan 44 titik pada 2013 silam di Banda Aceh dan Aceh Besar.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) juga meluncurkan program Keluarga Tangguh Bencana (Katana). Program ini diresmikan di Pasie Jantang, Aceh Besar, Provinsi Aceh. Agenda ini sekaligus menjadi pembelajaran bagi masyarakat tentang tanggap pada risiko bencana.

Hari ini, 26 Desember 2019, tepat 15 tahun silam mengenang Tsunami Aceh. Seruan Tagar membanjiri media sosial #SolidarityDay dan #CareDay. Seruan itu bukan saja pengingat tragedi dahsyat abad ke 21 itu, melainkan menjadi momen belajar, peduli dan bersolidaritas.

Founder Cahaya Aceh, Azwir Nazar di Jakarta memanjatkan doa dan takziyah kepada seluruh syuhada tsunami sambil mengajak terus bersatu dan bersolidaritas.

“Bahwa Tsunami Aceh telah menggugah nurani dunia, berbagai negara dan NGO datang bersolidaritas. Kita pun sebagai anak bangsa ikut peduli, bersama sama tanpa memandang suku, ras, agama, ikut andil. Momen ini penting sekali dan modal menjadi bangsa kuat, “ ungkapnya.

Maka, kebersamaan dan momentum itu harus senantiasa hidup dalam praktik kehidupan kita” ucap mantan Presiden PPI Turki tersebut.

Tagar #CareDay dan #SolidarityDay mungkin sudah pernah dilakukan oleh komunitas lain di tahun-tahun sebelumnya. Tapi kita perlu segarkan dan serukan kembali karena terdapat banyak hikmah dan pelajaran. Ada spirit yang luar biasa” sebut Azwir yang juga korban Tsunami 15 tahun silam.

Karena itu, Cahaya Aceh menginisiasi tagar @SolidarityDay juga sebagai ungkapan terima kasih kepada dunia yang telah membantu para korban bangkit dari Tsunami, 26 Desember 2004 lalu.

Sementara itu, di seluruh Aceh sesuai Keputusan Gubernur Aceh no 560/1417/2019 ditetapkan sebagai hari libur resmi memperingati gempa dan tsunami. Masyarakat memperingati tsunami dengan zikir akbar dan doa bersama di masjid maupun kuburan massal Tsunami.

Yayasan Cahaya Aceh dinisiasi sebagai wujud kepedulian dan dimotori oleh para anak muda yang keluarganya menjadi korban Tsunami yang selama ini fokus pada program Pendidikan, sosial dan kemanusiaan.

Dalam 2 tahun ini puluhan relawan aktif mengajarkan tiap hari anak anak tahfidz Quran, bahasa Arab, Inggris, Turki, melukis, menari, silat, memanah, dan bakat minat lainnya. Termasuk dibuka kelas bagi Ibu Ibu dan Bapak Bapak di Kawasan pesisir Tsunami Aceh.

Tuliskan hastag #2612SolidarityDay #TsunamiAceh #CareDay di twitter dan medsos lainnya untuk mengingat peristiwa sejarah terbesar abad ke-21.

Terus bangkit dan kuat, Aceh!!! (net)

www.cakrawalanusantaranews.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Next Post

Pemdes Ciaro Bagikan Insentif Untuk Guru PAUD

Share this on WhatsAppNAGREG – CNN Pemerintahan Desa Ciaro, Kecamatan Nagreg, Kabupaten Bandung kembali memberikan kegembiraan kepada warga masyarakatnya. Sedikitnya 300 tenaga pengajar Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) serta tokoh masyarakat dan guru mengaji yang ada di wilayahnya mendapatkan insentif dari pemerintah desa. Tunjangan operasional atau insentif yang diberikan Pemdes […]
Pembagian Insntif dilakukan pemerintah desa Ciaro

Subscribe US Now

WhatsApp chat